Siang itu hari tengah terik, saya dan beberapa kawan kami turun dari kendaraan umum. Kami tengah menyambangi salah satu situs peninggalan sejarah Islam. Kami sampai di sebuah pintu masuk yang kokoh dan menjulang tinggi. Sebuah bangunan peninggalan Dinasti Fatimiyah yang dinakaman Bab al-Futuh.
Salah satu
kawan kami menceritakan Kerajaan Fatimiyah yang cukup lama berkuasa di Timur
Tengah ini. Setelah Fatimiyah memasuki Mesir pada 972,
mereka menaklukkan dinasti
Ikhshidiyah dan
mendirikan ibukota baru di al-Qahirah.
Sebagai kerajaan penganut Syiah, biasanya mereka tak pernah lepas dari
kepercayaan akan ramalan astronomi. Maka banyak muncul berbagai versi cerita mitos
dalam mengartikan nama al-Qahirah sendiri. Ada yang mengatakan bahwa al-Qahirah artinya “Sang Penakluk” karena
ramalan akan munculnya planet Mars. Namun ada juga yang mengatakan “Kota
Tenggelam” karena insiden kesalahpahaman antara ahli astronomi dan para pekerja
bangunan. Yaitu saat lonceng tanda memulai pembangun kota berbunyi dahulu
sebelum waktunya.
Cerita ini membuat
penasaran kami untuk segera menikmati situs peninggalan Old Cairo. Setelah melewati Bab
al-Futuh, mata kami tertuju pada sebuah bangunan lama di samping kiri
jalan. Sebuah masjid yang cukup besar. Meskipun sejarah sudah membuat jarak
waktu yang cukup panjang hingga kini, namun situs peninggalan lama masih banyak
yang bisa kita temukan di Kairo. Ketika itu kami mendapati masjid Al-Hakim
bi Amrilah. Masjid yang dulunya bernama al-Anwar ini terletak di jalan al-Mu’iz
li Dinillah, di samping Bab al-Futuh.
Masjid ini pertama dibangun pada tahun 990 oleh Khalifah al-‘Aziz, ayah
al-Hakim. Setahun setelahnya, masjid ini digunakan pertama kalinya untuk salat
meskipun pembangunan belum selesai. Barulah pada 1013 masjid ini selesai
disempurnakan pembangunannya oleh al-Hakim bi Amrillah.
Menaranya menjulang
tinggi sekitar 60 meter. Di bawah langit yang cerah menara itu terlihat begitu
megah, apalagi ditambah luasnya arena masjid. Masjid ini pernah menjadi gudang,
juga pernah menjadi tempat menampung para para tawanan. Dan masjid ini lama
diabaikan tak terurus begitu saja. Namun atas permintaan dari kaum Syiah Buhra
akhirnya masjid ini dipugar dan dibuka kembali pada masa pemerintahan Presiden
Anwar Sadat.
Tempat ini merupakan
tempat suci bagi kaum penganut Syiah yang satu ini. Selain itu hal ini
diperkuat oleh faktor sosok al-Hakim bi Amrillah yang merupakan tokoh agung
bagi mereka. Ketika itu, kami melihat ada orang-orang penganut kaum Syiah yang
sepertinya berasal dari luar Mesir. Kawan kami mengatakan di masjid tersebut kita
bisa menemukan pengikut mereka yang sedang tawaf
pada malam hari. Meskipun masjid ini merupakan tempat suci bagi golongan
Syiah Buhra, namun masjid ini tetap terbuka untuk umum.
Sambil duduk
beristirahat menghilangkan lelah perjalanan, kami mengobrolkan perihal pendiri
masjid itu. Dia adalah Khalifah keenam Dinasti Fatimiyah, bernamakan lengkap Abu
‘Ali Mansur Tariqul Ḥakim yang lahir pada tahun 985
M. Menginjak umur sebelas tahun, ia menggantikan posisi ayahnya Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah (975–996), tepatnya pada 14
Oktober 996 M. Seperti tradisi raja Fatimiyah yang menyandang gelar kehormatan,
dia pun juga mempunyai gelar semacam itu. Dia bergelar al-Hakim bi Amrillah. Dirinya
terbilang istimewa karena keturunan raja yang pertama terlahir di tanah Mesir.
Karena umurnya yang
masih belum beranjak dewasa ini, maka dalam menjalankan pemerintahan ada pihak
yang berusaha merebut kekuasaan yaitu Ibnu ’Ammar yang berposisikan sebagai Amin Daulah. Namun ketika itu dia mendapat
perlawanan dari Barjawan. Barjawan merupakan seseorang yang telah diberi amanat
al-‘Aziz bi-llah untuk mendampingi al-Hakim sampai umurnya dianggap cukup
dewasa. Ketika umur al-Hakim sudah mencapai lima belas tahun, ia akhirnya
mengeluarkan perintah untuk memusnahkan Ibnu ‘Ammar. Pembunuhan itu akhirnya
berhasil dan sejak itu dia memegang kekuasaan penuh atas kedudukannya sebagai
Khalifah.
Ketika memegang
kekuasan penuhnya, ia terkenal sebagai pemimpin yang zuhud. Dirinya enggan memakai pakaian sutra dan perhiasan emas sebagaimana
gaya hidup ayah dan para penguasa sebelumnya. Bahkan lebih dari itu dia
memerdekakan semua budaknya.
Semasa
mengendalikan pemerintahan, Khalifah yang satu ini terkenal dengan sikap nyentrik
dan kebijakan anehnya. Dia terkenal dengan sikap yang kerap berseberangan
dengan sikap yang ditampilkan oleh ayahnya dan para penguasa sebelumnya.
Seperti sikapnya yang tidak toleran terhadap agama-agama lain. Al-Hakim bi
Amrillah pernah menghancurkan Gereja Holy Sepulchre di Jerusalem. Sikap ini
tentu mengundang kemarahan kaum Kristiani Barat yang kemudian menjadi pemicu meletusnya
perang salib. Namun aneh, di akhir hayatnya dia memerintahkan untuk membangun kembali
gereja yang pernah dihancurkannya tersebut.
Selain hal diatas, dia
juga pernah melarang rakyatnya makan mulukhiyya.
Padahal mulukhiyya merupakan makanan
favorit orang Mesir. Dia bahkan pernah memerintahkan untuk mengajukan waktu
azan zuhur pada pukul tujuh pagi dan azan asar pukul sembilan. Ada lagi perintahnya
yang mengharuskan menggunakan celemek bagi siapa yang hendak ke kamar mandi. Tidak
mengherankan, jika para sejarawan mengatakan dia adalah sosok yang eksentrik. Sejarawan
Barat pun menjulukinya “Mad Caliph”. Seorang
penulis Barat, Ruth Stellhorn Mackensen menyebutnya sebagai sosok yang bersifat
aneh. Karena dirinya yang dikombinasi oleh sifat kegila-gilaanya akan ilmu
pengetahuan dan fanatisme buta akan madzhabnya.
Namun selain sering
mengeluarkan titah yang sering dinilai aneh, ternyata al-Hakim bi Amrillah
turut berandil besar dalam membangun peradaban, khususnya dibidang keilmuan. Didirikannya
Baitul Hikma atau Darul ‘Ilm merupakan kebijakan mencolok
yang membuatnya semakin dicap kontroversial. Dia memasok buku-buku pengetahuan
dalam jumlah besar dari The Royal Collection untuk menambah koleksi Darul ‘Ilm. Perpustkaan ini terbuka
untuk umum bagi siapa saja yang berkeinginan menikmati buku di dalamnya. Bahkan
al-Hakim
bi Amrillah memberikan semua fasilitas secara cuma-cuma bagi siapa saja yang
mau menuliskan karyanya. Tidak hanya itu, dia juga memberikan beasiswa bagi
para penuntut ilmu di majlis Darul ‘Ilm, mirip seperti apa yang disediakan Bait al-Hikma di Baghdad.
Berakhirnya masa
kepemimpinan al-Hakim bi Amrillah terjadi pada tahun 1021 M. Kematian al-Hakim
tidak diketahui secara pasti oleh khayalak. Menurut beberapa riwayat dia
menghilang begitu saja. Pada suatu malam dia keluar dari kediamannya dan tidak
pernah kembali lagi. Namun ada juga yang mengatakan beliau dibunuh dan tidak
ditemukan jejak mayatnya. Inilah tahun dimana berakhirnya masa kekuasaan Khalifah
nyentrik yang satu ini.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di buletinAFKAR PCINU Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar