Halaman

Pages - Menu

Pages

Kamis, 29 November 2012

SOSOK EKSENTRIK AL-HAKIM BI AMRILLAH

 Al Hakim Bi Amr Allah Mosque Al Hakim Bi Amr Allah Mosque — Fotopedia

fotopedia.com


Siang itu hari tengah terik, saya dan beberapa kawan kami turun dari kendaraan umum. Kami tengah menyambangi salah satu situs peninggalan sejarah Islam. Kami sampai di sebuah pintu masuk yang kokoh dan menjulang tinggi. Sebuah bangunan peninggalan Dinasti Fatimiyah yang dinakaman Bab al-Futuh.
Salah satu kawan kami menceritakan Kerajaan Fatimiyah yang cukup lama berkuasa di Timur Tengah ini. Setelah Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, mereka menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qahirah. Sebagai kerajaan penganut Syiah, biasanya mereka tak pernah lepas dari kepercayaan akan ramalan astronomi. Maka banyak muncul berbagai versi cerita mitos dalam mengartikan nama  al-Qahirah sendiri. Ada yang mengatakan bahwa al-Qahirah  artinya “Sang Penakluk” karena ramalan akan munculnya planet Mars. Namun ada juga yang mengatakan “Kota Tenggelam” karena insiden kesalahpahaman antara ahli astronomi dan para pekerja bangunan. Yaitu saat lonceng tanda memulai pembangun kota berbunyi dahulu sebelum waktunya.
Cerita ini membuat penasaran kami untuk segera menikmati situs peninggalan Old Cairo. Setelah melewati Bab al-Futuh, mata kami tertuju pada sebuah bangunan lama di samping kiri jalan. Sebuah masjid yang cukup besar. Meskipun sejarah sudah membuat jarak waktu yang cukup panjang hingga kini, namun situs peninggalan lama masih banyak yang bisa kita temukan di Kairo. Ketika itu kami mendapati masjid Al-Hakim bi Amrilah. Masjid yang dulunya bernama al-Anwar ini terletak di jalan al-Mu’iz li Dinillah, di samping Bab al-Futuh. Masjid ini pertama dibangun pada tahun 990 oleh Khalifah al-‘Aziz, ayah al-Hakim. Setahun setelahnya, masjid ini digunakan pertama kalinya untuk salat meskipun pembangunan belum selesai. Barulah pada 1013 masjid ini selesai disempurnakan pembangunannya oleh al-Hakim bi Amrillah.
Menaranya menjulang tinggi sekitar 60 meter. Di bawah langit yang cerah menara itu terlihat begitu megah, apalagi ditambah luasnya arena masjid. Masjid ini pernah menjadi gudang, juga pernah menjadi tempat menampung para para tawanan. Dan masjid ini lama diabaikan tak terurus begitu saja. Namun atas permintaan dari kaum Syiah Buhra akhirnya masjid ini dipugar dan dibuka kembali pada masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat.
Tempat ini merupakan tempat suci bagi kaum penganut Syiah yang satu ini. Selain itu hal ini diperkuat oleh faktor sosok al-Hakim bi Amrillah yang merupakan tokoh agung bagi mereka. Ketika itu, kami melihat ada orang-orang penganut kaum Syiah yang sepertinya berasal dari luar Mesir. Kawan kami mengatakan di masjid tersebut kita bisa menemukan pengikut mereka yang sedang tawaf pada malam hari. Meskipun masjid ini merupakan tempat suci bagi golongan Syiah Buhra, namun masjid ini tetap terbuka untuk umum.
Sambil duduk beristirahat menghilangkan lelah perjalanan, kami mengobrolkan perihal pendiri masjid itu. Dia adalah Khalifah keenam Dinasti Fatimiyah, bernamakan lengkap Abu ‘Ali Mansur Tariqul Ḥakim yang lahir pada tahun 985 M. Menginjak umur sebelas tahun, ia menggantikan posisi ayahnya Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah (975–996), tepatnya pada 14 Oktober 996 M. Seperti tradisi raja Fatimiyah yang menyandang gelar kehormatan, dia pun juga mempunyai gelar semacam itu. Dia bergelar al-Hakim bi Amrillah. Dirinya terbilang istimewa karena keturunan raja yang pertama terlahir di tanah Mesir.
Karena umurnya yang masih belum beranjak dewasa ini, maka dalam menjalankan pemerintahan ada pihak yang berusaha merebut kekuasaan yaitu Ibnu ’Ammar yang berposisikan sebagai Amin Daulah. Namun ketika itu dia mendapat perlawanan dari Barjawan. Barjawan merupakan seseorang yang telah diberi amanat al-‘Aziz bi-llah untuk mendampingi al-Hakim sampai umurnya dianggap cukup dewasa. Ketika umur al-Hakim sudah mencapai lima belas tahun, ia akhirnya mengeluarkan perintah untuk memusnahkan Ibnu ‘Ammar. Pembunuhan itu akhirnya berhasil dan sejak itu dia memegang kekuasaan penuh atas kedudukannya sebagai Khalifah.
Ketika memegang kekuasan penuhnya, ia terkenal sebagai pemimpin yang zuhud. Dirinya enggan memakai pakaian sutra dan perhiasan emas sebagaimana gaya hidup ayah dan para penguasa sebelumnya. Bahkan lebih dari itu dia memerdekakan semua budaknya.
            Semasa mengendalikan pemerintahan, Khalifah yang satu ini terkenal dengan sikap nyentrik dan kebijakan anehnya. Dia terkenal dengan sikap yang kerap berseberangan dengan sikap yang ditampilkan oleh ayahnya dan para penguasa sebelumnya. Seperti sikapnya yang tidak toleran terhadap agama-agama lain. Al-Hakim bi Amrillah pernah menghancurkan Gereja Holy Sepulchre di Jerusalem.  Sikap ini tentu mengundang kemarahan kaum Kristiani Barat yang kemudian menjadi pemicu meletusnya perang salib. Namun aneh, di akhir hayatnya dia memerintahkan untuk membangun kembali gereja yang pernah dihancurkannya tersebut.
Selain hal diatas, dia juga pernah melarang rakyatnya makan mulukhiyya. Padahal mulukhiyya merupakan makanan favorit orang Mesir. Dia bahkan pernah memerintahkan untuk mengajukan waktu azan zuhur pada pukul tujuh pagi dan azan asar pukul sembilan. Ada lagi perintahnya yang mengharuskan menggunakan celemek bagi siapa yang hendak ke kamar mandi. Tidak mengherankan, jika para sejarawan mengatakan dia adalah sosok yang eksentrik. Sejarawan Barat pun menjulukinya “Mad Caliph”. Seorang penulis Barat, Ruth Stellhorn Mackensen menyebutnya sebagai sosok yang bersifat aneh. Karena dirinya yang dikombinasi oleh sifat kegila-gilaanya akan ilmu pengetahuan dan fanatisme buta akan madzhabnya.
Namun selain sering mengeluarkan titah yang sering dinilai aneh, ternyata al-Hakim bi Amrillah turut berandil besar dalam membangun peradaban, khususnya dibidang keilmuan. Didirikannya Baitul Hikma atau Darul ‘Ilm merupakan kebijakan mencolok yang membuatnya semakin dicap kontroversial. Dia memasok buku-buku pengetahuan dalam jumlah besar dari The Royal Collection untuk menambah koleksi Darul ‘Ilm. Perpustkaan ini terbuka untuk umum bagi siapa saja yang berkeinginan menikmati buku di dalamnya. Bahkan al-Hakim bi Amrillah memberikan semua fasilitas secara cuma-cuma bagi siapa saja yang mau menuliskan karyanya. Tidak hanya itu, dia juga memberikan beasiswa bagi para penuntut ilmu di majlis Darul ‘Ilm, mirip seperti apa yang disediakan Bait al-Hikma di Baghdad.
Berakhirnya masa kepemimpinan al-Hakim bi Amrillah terjadi pada tahun 1021 M. Kematian al-Hakim tidak diketahui secara pasti oleh khayalak. Menurut beberapa riwayat dia menghilang begitu saja. Pada suatu malam dia keluar dari kediamannya dan tidak pernah kembali lagi. Namun ada juga yang mengatakan beliau dibunuh dan tidak ditemukan jejak mayatnya. Inilah tahun dimana berakhirnya masa kekuasaan Khalifah nyentrik yang satu ini.
                        *Tulisan ini pernah dipublikasikan di buletinAFKAR PCINU Mesir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar